Aceh Utara, Starbpknews.id – 1 Juni 2025. Proses pembentukan pengurus Koperasi Merah-Putih di Desa Keude Alue Ie Puteh, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, menuai sorotan tajam dari warga. Kegiatan yang digadang-gadang sebagai bagian dari program nasional pemberdayaan ekonomi masyarakat desa itu justru diliputi dugaan pelanggaran mekanisme dan minimnya transparansi.
Informasi yang diperoleh media menyebutkan bahwa rapat pembentukan pengurus koperasi hanya dihadiri oleh unsur kecamatan, aparatur desa, dan lima orang warga yang disebut-sebut telah ditunjuk sebelumnya. Tidak ada pengumuman resmi, baik secara lisan maupun tertulis, yang disampaikan kepada masyarakat luas terkait pelaksanaan rapat tersebut.
“Ini bukan musyawarah, tapi hanya formalitas untuk mengesahkan keputusan yang sudah dirancang. Warga tidak tahu-menahu siapa yang jadi pengurus, bahkan tidak diundang,” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan.
Diduga Pengurus Sudah Disiapkan Sebelumnya
Keuchik Keude Alue Puteh, Iskandar, diduga menjadi aktor utama di balik pembentukan pengurus koperasi secara tertutup. Ia dituding menunjuk langsung nama-nama pengurus tanpa melalui rapat anggota koperasi sebagaimana seharusnya dilakukan.
Tokoh muda gampong setempat mengungkapkan bahwa mayoritas warga bahkan tidak mengetahui siapa saja yang ditetapkan sebagai pengurus. “Ini koperasi desa, tapi warga tidak dilibatkan. Seakan-akan koperasi ini milik pribadi,” ujarnya.
Potensi Pelanggaran Regulasi
Merujuk pada ketentuan hukum, proses pembentukan ini patut diduga melanggar sejumlah regulasi. Peraturan Menteri Koperasi dan UKM RI Nomor 9 Tahun 2018 secara tegas menyatakan bahwa koperasi dibentuk secara sukarela, terbuka, dan dikelola secara demokratis. Pada Pasal 10 ayat (1) dijelaskan, pembentukan koperasi harus dilakukan oleh minimal 20 orang yang memiliki kepentingan ekonomi yang sama.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa pengurus harus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam forum rapat anggota.
Apabila hanya lima warga yang hadir dan prosesnya berlangsung tertutup, maka legitimasi pembentukan koperasi ini dapat dipertanyakan. Warga menilai, koperasi ini tidak lebih dari sebuah wadah formalitas yang disiapkan untuk menyerap anggaran atau program tertentu, tanpa niat memberdayakan masyarakat.
Hingga kini, ketua tuha peut selaku lembaga pengawasan gampong belum menyatakan sikap resmi. Namun tekanan publik semakin menguat agar pihak kecamatan dan Dinas Koperasi Kabupaten Aceh Utara segera turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses pembentukan koperasi tersebut.
“Kami minta rapat ulang secara terbuka. Semua masyarakat harus dilibatkan. Jangan sampai program koperasi ini hanya jadi alat bagi kepentingan segelintir orang,” tegas salah satu warga lainnya.
Media telah berupaya meminta tanggapan dari Keuchik Iskandar melalui pesan WhatsApp, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada respon. Keheningan tersebut justru memperkuat kecurigaan masyarakat akan adanya praktik yang menyimpang dari aturan yang berlaku.
(Muliadi)